Contoh
Kasus Pertama
Sebagian produk dalam negeri
rawan terkena dampak perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Survei
Kementerian Perindustrian menyebut enam sektor yang paling terkena dampak
perdagangan bebas itu.
Selama periode 2006-2010, total ekspor migas dan non migas Indonesia ke China rata-rata tumbuh 15,4 persen. Namun, rata-rata pertumbuhan total impor China ke Indonesia naik dua kali lipat, yakni sebesar 31,5 persen.
Enam sektor utama yang paling
rawan terkena dampak perdagangan bebas itu adalah logam dengan kerawanan
sebesar 70 persen, furnitur (61 persen), garmen (57 persen), kain grey (56
persen), dan mesin (45 persen).
Meski berpotensi mengancam
sejumlah sektor perdagangan itu, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko, menyatakan tidak perlu ada
renegosiasi aturan ACFTA dengan China. Sebab, menurut beliau, dari pengalaman
proteksi industri di masa orde baru, yang muncul justru industri yang penuh
aksi ambil untung. "FTA (Free Trade Agreement) bukan hanya dagang, tapi
juga investasi yang progresif. Kalau bisa memanfaatkan ini, kesempatan
meningkatkan kapasitas ekonomi makin besar," kata Prasetyantoko pada
diskusi bertema ACFTA: Hantu atau Ketidaksiapan Pemerintah di Warung Daun,
Jakarta, Selasa, 26 April 2011.
Menurut Prasetyantoko, sejak
ACFTA 2010, impor Indonesia memang melonjak dua kali lipat. Tapi, sebenarnya
tren defisit ekspor Indonesia relatif meningkat. Beliau menyebut pertumbuhan
impor dari Jepang merupakan yang terbesar yakni 72,37 persen, disusul Thailand
(62,35 persen), Taiwan (47,21 persen), Korea Selatan (46,88 persen), dan China
45,93 persen.
Prasetyantoko menambahkan, ada
beberapa penyelamatan jangka pendek terkait pemberlakuan ACFTA itu, yakni
perlindungan produk dalam negeri (safeguard), program antidumping
maupun kewajiban mencantumkan produk sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut
beliau, ACFTA dalam jangka menengah memberi kesempatan untuk memacu daya saing
perekonomian domestik. Dalam jangka menengah, perlu memanfaatkan peluang dengan
mengidentifikasi sektor yang komplemen terhadap produk China, mendorong peluang
non perdagangan seperti investasi langsung untuk kapasitas produksi dan
memperbaiki logistik.
Dari rilis Bank Dunia
disebutkan, berdasarkan indeks logistik, Indonesia berada di peringkat ke-75
dibandingkan China (27), Afrika Selatan (28), dan Malaysia (29). "Kita
masih tertinggal jauh soal logistik," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan
pengamat ekonomi Anggito Abimanyu. Menurut dia, pemerintah tidak perlu
renegosiasi perjanjian perdagangan ASEAN-China, karena lebih menyulitkan dan
membutuhkan proses lama. "Karena
(renegosiasi) bukan hanya dengan China, tapi juga negara ASEAN lainnya,"
tuturnya. Beliau menyebutkan, defisit dengan China US$5,2-5,7 miliar, tapi
surplus besar dengan negara lain, yakni US$26,1 miliar. "Sulit mengatakan
kita injury (menderita kerugian) dari perdagangan bilateral. Karena
semua dilihat dari konteks multilateral dan total neraca perdagangan,"
ujar Anggito
Perjanjian ACFTA yang disepakati
menteri perdagangan ASEAN-China, menurut beliau, ada tiga. Pertama,
ACFTA tetap dilanjutkan dan tidak ada rencana notifikasi karena kerugian akibat
kecurangan perdagangan (unfair trade). Kedua, bila suatu
negara mengalami defisit, negara surplus harus mendorong impor. Ketiga,
pembentukan tim pengkajian terhadap perdagangan bilateral.
Bila memang ada kerugian akibat
perdagangan bebas, maka membutuhkan biaya mahal dan proses panjang untuk
membuktikan hal tersebut. Selain itu, kesepakatan bukan hanya dengan China tapi
juga dengan negara ASEAN. Negosiasi
dengan menerapkan kompensasi apabila terjadi kerugian di satu pos tarif tertentu
memakan waktu lama dan rumit. "Saya pesimis dan belum melihat ada langkah
bilateral. Berdasarkan pengalaman saya, pejabat kita tidak ahli dalam
negosiasi," ungkapnya. Anggito menyebut, di samping perlindungan
pemerintah bila terdapat kecurangan, masalah internal dalam negeri harus
dibenahi lebih dulu.
Sumber : http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/216778-enam-sektor-paling-rawan-serbuan-produk-china
Contoh
Kasus Kedua
Kementerian
Perdagangan meyakini Indonesia berpeluang memperluas pasar ekspor China karena
ada kerja sama perdagangan internasional Kesepakatan Pasar Bebas
ASEAN-China (ACFTA). "Meski selama ini ACFTA dinilai selalu
menguntungkan China karena bea masuk impor produk mereka ke Indonesia nol
persen dan merugikan pasar nasional, kami optimistis China tetap potensial
dibidik," kata Kasubdit Jasa Bisnis, Distribusi dan Keuangan Direktorat
Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan
(Kemendag), Iskandar Panjaitan, di Surabaya, Selasa.
Ditemui
dalam satu pertemuan yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Surabaya, ia menjelaskan, selama ini transaksi perdagangan China dengan Jawa
Timur defisit 3,85 miliar dolar AS. "Dengan minus tersebut, masih ada
peluang bagi Indonesia gencar menyasar pasar China mengingat jumlah penduduknya
lebih besar dan kondisi perekonomian mereka semakin membaik saat ini,"
ujarnya.
Di
sisi lain, beliau merinci, tantangan dari ACFTA 2011 di antaranya produk China
kian membanjir di pasar global termasuk Indonesia. "Berbagai produk
nasional yang terancam produk China antara lain tekstil dan produk tekstil,
alas kaki, elektronika, ban, furnitur, industri permesinan, mainan anak-anak,
serta otomotif," katanya.
Bahkan,
terkait manfaat yang dapat diambil dari kesepakatan perdagangan bebas
terdahulu, tambah dia, ACFTA mengajarkan Indonesia mengidentifikasi masalah dan
merencanakan metode penanggulangannya sejak awal. "Masalah tersebut
khususnya dikarenakan produk yang diproduksi kedua negara (Indonesia dengan
China) bersaing secara langsung," katanya.
Di
samping itu, ulas dia, ACFTA mengajarkan Indonesia tetap percaya diri karena
kenyataannya komposisi impor di Tanah Air dari China menunjukkan dominasi bahan
baku 75,1 persen, barang modal 16,7 persen, dan barang konsumsi 8,2 persen. "Sementara,
nilai ekspor Indonesia ke China juga melonjak drastis menjadi 12,4 miliar dolar
AS pada 2010 dibandingkan tahun sebelumnya di posisi 7,7 miliar dolar AS,"
katanya. Di sisi lain, beliau optimistis, dengan ACFTA maka angka pengangguran
di Indonesia semakin berkurang menyusul tingkat pengangguran di China mengalami
penurunan menjadi 2,68 persen selama 2010. Pengurangan angka pengangguran
tersebut dipicu oleh kian meningkatnya kinerja ekspor impor China.
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/268898/indonesia-bisa-perluas-pasar-ekspor-china
Tidak ada komentar:
Posting Komentar