난 영원한 너의 피터팬 (I am your eternal Peter Pan),

난 영원한 너의 피터팬 (I am your eternal Peter Pan),

Jumat, 05 Juni 2015

Tarik Ulur Hubungan Kerja Sama Bilateral Indonesia-China dalam Ekspor dan Impor (Contoh Kasus Perekonomian Internasional)




Contoh Kasus Pertama


Sebagian produk dalam negeri rawan terkena dampak perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Survei Kementerian Perindustrian menyebut enam sektor yang paling terkena dampak perdagangan bebas itu.

Selama periode 2006-2010, total ekspor migas dan non migas Indonesia ke China rata-rata tumbuh 15,4 persen. Namun, rata-rata pertumbuhan total impor China ke Indonesia naik dua kali lipat, yakni sebesar 31,5 persen.
Enam sektor utama yang paling rawan terkena dampak perdagangan bebas itu adalah logam dengan kerawanan sebesar 70 persen, furnitur (61 persen), garmen (57 persen), kain grey (56 persen), dan mesin (45 persen).
Meski berpotensi mengancam sejumlah sektor perdagangan itu, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko, menyatakan tidak perlu ada renegosiasi aturan ACFTA dengan China. Sebab, menurut beliau, dari pengalaman proteksi industri di masa orde baru, yang muncul justru industri yang penuh aksi ambil untung. "FTA (Free Trade Agreement) bukan hanya dagang, tapi juga investasi yang progresif. Kalau bisa memanfaatkan ini, kesempatan meningkatkan kapasitas ekonomi makin besar," kata Prasetyantoko pada diskusi bertema ACFTA: Hantu atau Ketidaksiapan Pemerintah di Warung Daun, Jakarta, Selasa, 26 April 2011.
Menurut Prasetyantoko, sejak ACFTA 2010, impor Indonesia memang melonjak dua kali lipat. Tapi, sebenarnya tren defisit ekspor Indonesia relatif meningkat. Beliau menyebut pertumbuhan impor dari Jepang merupakan yang terbesar yakni 72,37 persen, disusul Thailand (62,35 persen), Taiwan (47,21 persen), Korea Selatan (46,88 persen), dan China 45,93 persen.
Prasetyantoko menambahkan, ada beberapa penyelamatan jangka pendek terkait pemberlakuan ACFTA itu, yakni perlindungan produk dalam negeri (safeguard), program antidumping maupun kewajiban mencantumkan produk sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut beliau, ACFTA dalam jangka menengah memberi kesempatan untuk memacu daya saing perekonomian domestik. Dalam jangka menengah, perlu memanfaatkan peluang dengan mengidentifikasi sektor yang komplemen terhadap produk China, mendorong peluang non perdagangan seperti investasi langsung untuk kapasitas produksi dan memperbaiki logistik.
Dari rilis Bank Dunia disebutkan, berdasarkan indeks logistik, Indonesia berada di peringkat ke-75 dibandingkan China (27), Afrika Selatan (28), dan Malaysia (29). "Kita masih tertinggal jauh soal logistik," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan pengamat ekonomi Anggito Abimanyu. Menurut dia, pemerintah tidak perlu renegosiasi perjanjian perdagangan ASEAN-China, karena lebih menyulitkan dan membutuhkan proses lama.  "Karena (renegosiasi) bukan hanya dengan China, tapi juga negara ASEAN lainnya," tuturnya. Beliau menyebutkan, defisit dengan China US$5,2-5,7 miliar, tapi surplus besar dengan negara lain, yakni US$26,1 miliar. "Sulit mengatakan kita injury (menderita kerugian) dari perdagangan bilateral. Karena semua dilihat dari konteks multilateral dan total neraca perdagangan," ujar Anggito
Perjanjian ACFTA yang disepakati menteri perdagangan ASEAN-China, menurut beliau, ada tiga. Pertama, ACFTA tetap dilanjutkan dan tidak ada rencana notifikasi karena kerugian akibat kecurangan perdagangan (unfair trade). Kedua, bila suatu negara mengalami defisit, negara surplus harus mendorong impor. Ketiga, pembentukan tim pengkajian terhadap perdagangan bilateral.
Bila memang ada kerugian akibat perdagangan bebas, maka membutuhkan biaya mahal dan proses panjang untuk membuktikan hal tersebut. Selain itu, kesepakatan bukan hanya dengan China tapi juga dengan negara ASEAN.  Negosiasi dengan menerapkan kompensasi apabila terjadi kerugian di satu pos tarif tertentu memakan waktu lama dan rumit. "Saya pesimis dan belum melihat ada langkah bilateral. Berdasarkan pengalaman saya, pejabat kita tidak ahli dalam negosiasi," ungkapnya. Anggito menyebut, di samping perlindungan pemerintah bila terdapat kecurangan, masalah internal dalam negeri harus dibenahi lebih dulu.


Sumber : http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/216778-enam-sektor-paling-rawan-serbuan-produk-china


Contoh Kasus Kedua   



Kementerian Perdagangan meyakini Indonesia berpeluang memperluas pasar ekspor China karena ada kerja sama perdagangan internasional Kesepakatan Pasar Bebas ASEAN-China  (ACFTA). "Meski selama ini ACFTA dinilai selalu menguntungkan China karena bea masuk impor produk mereka ke Indonesia nol persen dan merugikan pasar nasional, kami optimistis China tetap potensial dibidik," kata Kasubdit Jasa Bisnis, Distribusi dan Keuangan Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iskandar Panjaitan, di Surabaya, Selasa.
Ditemui dalam satu pertemuan yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surabaya, ia menjelaskan, selama ini transaksi perdagangan China dengan Jawa Timur defisit 3,85 miliar dolar AS. "Dengan minus tersebut, masih ada peluang bagi Indonesia gencar menyasar pasar China mengingat jumlah penduduknya lebih besar dan kondisi perekonomian mereka semakin membaik saat ini," ujarnya.
Di sisi lain, beliau merinci, tantangan dari ACFTA 2011 di antaranya produk China kian membanjir di pasar global termasuk Indonesia. "Berbagai produk nasional yang terancam produk China antara lain tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, ban, furnitur, industri permesinan, mainan anak-anak, serta otomotif," katanya.
Bahkan, terkait manfaat yang dapat diambil dari kesepakatan perdagangan bebas terdahulu, tambah dia, ACFTA mengajarkan Indonesia mengidentifikasi masalah dan merencanakan metode penanggulangannya sejak awal. "Masalah tersebut khususnya dikarenakan produk yang diproduksi kedua negara (Indonesia dengan China) bersaing secara langsung," katanya.
Di samping itu, ulas dia, ACFTA mengajarkan Indonesia tetap percaya diri karena kenyataannya komposisi impor di Tanah Air dari China menunjukkan dominasi bahan baku 75,1 persen, barang modal 16,7 persen, dan barang konsumsi 8,2 persen. "Sementara, nilai ekspor Indonesia ke China juga melonjak drastis menjadi 12,4 miliar dolar AS pada 2010 dibandingkan tahun sebelumnya di posisi 7,7 miliar dolar AS," katanya. Di sisi lain, beliau optimistis, dengan ACFTA maka angka pengangguran di Indonesia semakin berkurang menyusul tingkat pengangguran di China mengalami penurunan menjadi 2,68 persen selama 2010. Pengurangan angka pengangguran tersebut dipicu oleh kian meningkatnya kinerja ekspor impor China.


Sumber : http://www.antaranews.com/berita/268898/indonesia-bisa-perluas-pasar-ekspor-china

Tidak ada komentar:

Posting Komentar