Upaya Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen (Kasus Bidang Toiletries)
Penjabaran UU No. 8 Tahun 1999
Disusun oleh :
IRENE PUTRI ISLAMI
Kelas :
3EB19
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
kasih dan rahmatnya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
kami yang berjudul “Sejarah Berdirinya Koperasi” adalah untuk memenuhi tugas
dari dosen yang bersangkutan.
Saya mengucapkan terimakasih kepada
pihak yang telah memberi bimbingan dan motivasi yang sangat membantu dalam
penyelesaian pembuatan makalah ini. Ucapan terimakasih ini saya sampaikan
kepada :
1.
Ibu Oktavia Anna Rahayu selaku dosen
mata kuliah Aspek
Hukum dalam Ekonomi.
2.
Kedua orang tua saya yang telah
memberikan motivasi serta doa kepada saya.
3.
Serta
teman-teman yang
merupakan adik-adik kelas saya, kelas 2EB33 yang telah
memberikan berbagai
informasi kepada saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan
untuk perbaikan diwaktu yang akan datang.
Bekasi, 5 Juni 2016
(Penulis)
PEMBAHASAN
Upaya Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen (Kasus Bidang Toiletries)
Terlihat ketidak seimbangan produsen/penjual dengan
konsumen. Salah satu penyebabnya, konsumen sangat di gandrungi berbagai
tawaran produk barang yang menggiurkan di pasaran, sehingga
tak sempat lagi memperhatikan mutu, serta efek dari pemakaian
barang tersebut.
Di Surabaya, beberapa waktu lalu, ditemukan pemalsuan
beberapa merek produk barang terkenal. Sampo, yang dipalsukan
berupa Sunsilk, Organics, Dimension 2 in 1, Biuti Shampoo 3 in 1, Rejoice
Formula 2 in 1, Clear dan Pantene Pro. Bedak bayi yang dipalsu: Pigeon,
Johnson and Johnson, Zwitsal Baby Powder, Caldine Powder, Cussen, Amami,
Pixy dan She, serta parfum berupa Axe, Tabach, Gatsby, Marlboro.
Praktik yang demikian ini, tak tertutup kemungkinan terjadi
di Jakarta, Bandung, Denpasar, dan kota besar lainnya di Tanah Air. Dengan
kejadian tsb, konsumen jelas dirugikan. Lalu, dapatkah konsumen membuktikan
dirinya dirugikan oleh akibat yang ditimbulkan dengan pemakaian merek barang
yang palsu tsb? Pembuktian konsumen terkontaminasi, agaknya sulit, karena harus
melalui pembuktian laboratorium. Karenanya, posisi konsumen lemah jika
dihadapkan dengan produsen atau penjual. Sehingga, perlu ada
tindakan tegas pemerintah dan usaha keras dari Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) dalam hal lebih serius mengontrol produk barang yang
beredar serta mempersoalkan produsen atau penjual yang
'bermasalah' melalui jalur hukum, agar praktik yang merugikan tsb.
tidak tumbuh subur di pasaran.
Dan lagi akan menghadapi persaingan ketat di tahun 2010 dan
2020, dengan era pasar bebas yang menuntut kualitas produk
barang yang bermutu. Jika sejak dini pemerintah tidak dilakukan
pembenahan serius serta tindakan tegas terhadap produsen atau penjual yang
'nakal', maka produk barang kita hanya akan jadi pajangan dan
tetap kalah bersaing dengan negara lain.
Jaminan
Terhadap Konsumen
Kewajiban dasar produsen atau penjual adalah menjamin produk
barang yang dipasarkan bermutu. Dalam dunia produksi ada 2 (dua) macam
jaminan yaitu express warranty dan implied warranty.
Express warranty (jaminan tegas), terwujud melalui kartu
jaminan atau dengan iklan. Dengan propaganda iklan, seakan memberikan ketegasan
bahwa kualitas produk barang bermutu. Konsekuensinya, jika barang
tsb. ternyata palsu, rusak dan cacat, maka produsen atau
penjual otomatis bertanggung jawab.
Sayang,
kenyataannya jauh dari harapan di mana masih saja ditemukan barang palsu,
daluarsa, rusak, beredar pasaran. Sehingga perlu disikapi secara tegas oleh
pemerintah dalam menangkal permainan ''kotor'' produsen atau
penjual.
Implied warranty (jaminan yang dianggap harus diberikan
kepada konsumen). Karena diatur dalam undang-undang, walau
tanpa kartu jaminan atau iklan, produsen/penjual otomatis bertanggung jawab,
jika barang palsu, rusak, cacat, apalagi sampai merugikan
konsumen.
Pasal 1233 KUH. Perdata, tiap perikatan lahir karena persetujuan
dan undangundang. Hubungan produsen/penjual dengan pembeli
timbul karena kesepakatan. Di mana berawal dari tawar-menawar
sampai timbul kesepakatan dalam transaksi.
Pasal
1320 KUH. Perdata mensyaratkan untuk sah suatu perjanjian
harus memenuhi:
(1)
kata sepakat/konsensus. (2) kecakapan (dewasa, tidak sakit
ingatan) untuk membuat perikatan. (3) mengenai hal atau objek tertentu. (4)
adanya dasar/sebab yang halal.
Dengan dibelinya produk barang yang dipasarkan, itu berarti secara
terang-terang maupun diam-diam, produsen/penjual sepakat dengan konsumen,
bahwa barang yang dibeli konsumen tersebut bermutu. Di sisi lain, tidak boleh
ada pemaksaan, kekhilafan, terlebih penipuan produsen/penjual terhadap konsumen.
Konsekuensinya, jika terjadi penipuan berupa pemalsuan merek
produk barang, konsumen dapat menggugat ganti rugi, berdasarkan
wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Tetapi
kesulitan akan timbul, jika konsumen (penggugat), harus membuktikan dirinya
mengalami kerugian.
Melihat problematika tsb, perlu peraturan sebagai ''payung'' dalam mengatur
perlindungan konsumen berupa RUU Perlindungan Konsumen yang sekarang sudah
diajukan ke Mensesneg, harus berisikan: Pertama, Sistem beban pembuktian
terbalik. Di mana, produsen atau penjual, yang harus membuktikan bahwa dirinya
tidak bersalah, bukan konsumen. Kedua, Konsumen bisa perorangan/
bersama-sama (Class action) dapat menggugat secara kolektif terhadap produsen,
penjual, melalui pengadilan.
Di sisi lain, harus ada political will pemerintah, untuk
tegas menerapkan sanksi pidana. Di mana produsen atau penjual terbukti
melakukan penipuan/palsu merek produk barang tertentu atau merek milik orang
lain untuk diperdagangkan dengan penjara paling lama tujuh tahun dan denda
paling banyak Rp 100 juta. (Pasal 79 UU Merek).
Dengan kian ketatnya persaingan bisnis dewasa ini, dalam
merebut pangsa pasar melalui bermacam-macam produk barang, maka perlu
keseriusan YLKI memantau produsen atau penjual yang 'nakal', yang hanya
mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang.
Fenomena tsb benar terjadi, di mana ditemukan banyak produk
tidak bermutu dan palsu. Apalagi, masyarakat kita kebanyakan tinggal di desa,
tidak tahu akan efek/indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan
makanan kaleng, minuman botol, obatobatan, dan banyak lagi yang lain. Hal
demikian, menjadi makanan empuk bagi produsen atau penjual untuk membodohi
masyarakat dengan barang palsu.
Karenanya, kiprah YLKI dan cabangnya di daerah harus serius mengontrol kelaikan
produk barang yang dipasarkan. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat, mengenai
tertib niaga dan hukum perlindungan konsumen, agar tidak terjebak tipu muslihat
orang yang hanya ingin meraup untung dengan korbankan masyarakat.
YLKI diharapkan sering melakukan
pengumuman/imbauan melalui TV, radio, agar masyarakat selektif serta hati-hati
dalam membeli produk barang yang muncul bak cendawan di musim hujan. Juga
membuka ''kotak pengaduan'' bagi masyarakat yang menemukan, merasa dirugikan
dari produk barang yang digunakan. Dan, temuan yang disampaikan masyarakat
harus pula, segera diselesaikan tuntas.
Akhirnya, untuk melindungi konsumen dari ulah produsen
atau penjual yang nakal, semuanya kembali lagi kepada kita, dengan harapan
terus meningkatkan keseriusan, kepekaan dan kepedulian untuk mengontrol
penggunaan merek produk barang yang beredar di pasaran, agar konsumen terhindar
dari permainan kotor produsen/penjual.
Aspek
Hukum Perlindungan Konsumen
Pengertian
Konsumen
Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun
tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapat
lainnya. Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu
consumer, secara harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai "seseorang
atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu"; atau "sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu
persediaan atau sejumlah barang". ada juga yang mengartikan " setiap
orang yang menggunakan barang atau jasa".
Dari pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antar
konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai
perusahan atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah
konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk
tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).
Banyak
negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam
perundang-undangannya, konsumen dibatasi sebagai "setiap orang yang
membeli barang yang disepakati, baik menyangkut harga dan cara-cara
pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk
dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial (Consumer protection Act No.
68 of 1986 Pasal 7 huruf C).
Selain
itu dalam rancangan akademik Undang-undang tentang Konsumen oleh Tim Peneliti
UI dalam Ketentuan Umum Pasal 1;
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Konsumen adalah setiap orang atau
keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk dipakai dan
tidak untuk diperdagangkan.
Tim
Peneliti UI tidak membatasi konsumen dalam hubungan dengan didapatkannya barang
yaitu dalam hal ini tidak perlu ada hubungan jual beli. Misalnya seorang kepala
keluarga yang membeli barang untuk dinikmati oleh seluruh anggota keluarga,
Maka anggota keluarga yang memakai walau tidak membeli langsung juga merupakan
kategori konsumen.
Berdasarkan
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku
satu bulan sejak penggggundangannya, yaitu 20 April 1999. Pasal 1 butir 2
mendefinisikan konsumen sebagai … "Setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan."
Definisi ini sesuai dengan pengertian bahhwa konsumen adalah
end user / pengguna terakhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barannng
dan/atau jasatersebut.
Hukum konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal
cabang hukum pidana, hukum perdata, hukum adaministrasi, hukum internasional,
hukum adat dan berbagai cabang hukum lainnya. Dalam hal ini juga belum ada
kesepakatan hukum konsumen terletak dalam cabang hukum yang mana.. Hal ini
dikarenakan kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan
hukum antara lain perdata, pidana, administrasi, dan konvensi internasional.
Prof.
Mochtar Kusumaatmadja, memberikan batasan hukum konsumen yaitu:
Keseluruhan
kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan masalah anatara berbagai
pihak berkaitan dengan dengan barang dan atau jasa konsumen satu sama lain, di
dalam pergaulan hidup.
Hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan menemukan kaidah
hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia
tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah konsumen dalam
peraturan perundan-undangangan tersebut walaupun ditemukan sebagian dari subyek-subyek
hukum yang memenuhi kriteria konsumen.
Sebelum diberlakukannya UU No. 8 tahun 1999 terdapat berbagi
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.
Peraturan Prundang-undangan ini memang tidak secara langsung mengenai perlindungan
konsumen, namun secara tidak langsung dimaksudkan juga untuk melindungi
konsumen Peraturan yang dimaksud antara lain:
1. Keputusan Menteri
Perindustrian No. 727/ M/ SK/ 12/ 1981 tentang Wajib Pemberian Tanda (Label)
Pada Kain Batik Tulis, Kain Batik Kombinasi (Tulis dan Cap), dan Tekstil yang
Dicetak (printed) dengan Motif (Disain) Batik.
2. Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan
Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia, selanjutnya disingkat dengan LN
RI, No. 23 tahun 1973) tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan, dan
Penggunaan Pestisida.
3. Keputusan Menteri
Perindustrian No. 27/ M/ SK / 1/ 1984 tentang Syaratsyarat dan ijin Pengolahan
Kembali Pelumas Bekas dan Pencabutan semua Ijin Usaha Industri Pengolahan
Kembali Pelumas Bekas.
4. Peraturan Pemerintah No. 2/
1985 (LN RI No. 4 tahun 1985 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 3283.) tentang Wajib dan Pembebanan Untuk Ditera dan atau Ditera Ulang
Serta Syarat-syarat Bagi Alatalat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya.
5. Undang-Undang tentang Pokok
Kesehatan No. 9/ 1960 (LN RI No. 131 tahun 1960 dan TLN RI No. 2068).
6. Peraturan Menteri Kesehatan
No. 79/ 1978 tentang Label dan Perikllanan.
7. Peraturan Menteri Kesehatan
No. 79/ 1978 tentang Produksi Dan Peredaran Makanan yang melarang periklanan
yang menyesatkan, mengacaukan, atau menimbulkan penafsiran salah atas produk
yang diklankan. Dengan diberlakukannya UU No 8 Tahun 1999 maka UU tersebut
merupakan ketentuan positif yang khusus mengatur perlindungan konsumen.
Hak-Hak
Konsumen
Jika kita membicarakan tentang perlindungan konsumen hal itu
tidak lain adalah juga membicarakan hak-hak konsumen. Presiden Merika Serikat
J. F. Kennedy dalam pesannya kepada Congress pada tanggal 15 Maret 1962 dengan
judul A Special Message of Protection the Consumer Interest, menjabarkan empat
hak konsumen sebagai berikut:
1. the right to safety
2. the right to choose
3. the right to be informed
4. the right to be heard
Di
Indonesia Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merumuskan hak-hak konsumen
sebagai berikut:
1. hak keamanan dan
keselamatan
2. hak mendapatkan informasi
yang jelas
3. hak memilih
4. hak untuk didengar
pendapatnya dan keluhannya
5. hak atas lingkungan
hidup
Selanjutnya
Tim Peneliti UI dalam rancangan akademiknya merumuskan hak-hak konsumen sebagai
berikut:
1. hak atas keamanan
2. hak untuk memilih
3. hak atas informasi
4. hak untuk didengar
5. hak untuk mendapatkan
barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya
6. hak untuk mendapatkan upaya
penyelesaian hukum yang patut.
Hak-hak
konsumen menurut UU No 8 tahun 1999 , dalam Pasal 4 sebagai berikut:
• Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa.
• Hak untuk
memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
• Hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.
• Hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
• Hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
• Hak untuk
mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
• Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
• Hak untuk
mendapat kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian, apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
• Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain itu terdapat juga kewajiban dari konsumen yang
tertera dalam pasal 5 UU no 8 tahun 1999. Penulis dalam hal ini lebih cenderung
memakai kaedah "etis" P.A.P.A (Privacy, Accuracy, Property,
Accessibility) dalam merumuskan hak-hak konsumen. Artinya hak-hak konsumen
meliputi privacy, accuracy, property, dan accessibility. Perumusan hak-hak dari
konsumen tiada lain adalah (juga) untuk merumuskan kewajiban dari produsen atau
penyelenggara jasa. Khusus dalam penulisan ini kewajiban dari produsen adalah
menjamin privacy, accuracy, property, dan accessibility konsumen di atas.
Aspek
Perlindungan konsumen dalam Penggunaan Digital Signature
Dalam
pengguanaan Digital Signature kita mengenal adanya dua pihak, yaitu:
1. Certificate Authority (CA)
2. Subscriber
Hubungan
ini menunjukkan kaitan antara CA sebagai penyelenggara jasa dan subscriber sebagai
konsumen. Sebagai penyelenggara jasa, CA harus menjamin hak-hak subsscriber
antara lain:
1.
Privacy
Termaktub
dalam pasal 4 butir 1 UU NO 8 tahun 1999. Contoh: Ketika subscriber
meng"apply" kepada CA, subs akan dimintai keterangan mengenai
identitasnya, besar kecilnya keakuratan dari identitas tersebut tergantung dari
jenis tingkatan sertifikat tersebut. Semakin tinggi tingkat sertifikat maka
semakin akurat pula identitas sebenarnya dari subscriber.
Namun
dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah CA sebagai penyi data berkewajiban
menjaga kerahasiaan identitas subs dari pihak yang tidak berkepentingan. CA
hanya boleh mengkonfirm bahwa sertifikat yang dimiliki oleh subs adalah benar
dan diakui oleh CA. Di beberapa negara maju data pribadi mendapat perlindungan
dalam undang-undang (data protection act).
Di dalam Undang-Undang yang bersangkutan tercantum prinsip
perlindungan data (Data Protection Principles) yang harus ditaati oleh
orang-orang yang menyimpan atau memproses informasi dengan mempergunakan
komputer yang menyangkut kehidupan orangorang. Biro-biro komputer yang
menyediakan jasa pelayanan bagi mereka yang hendak memproses informasi juga
sama dikontrol dan harus melakukan pendaftaran menurut undangundang tersebut.
Individu-individu, yang informasi dirinya disimpan pada komputer, diberi hakhak
untuk akses dan hak untuk memperoleh catatan-catatan pembetulan dan penghapusan
informasi yang tidak benar. Mereka itu pun dapat mengajukan pengaduan kepada
Data Protection Registrar (yang daingkat berdasarkan undang-undang) aapabila
mereka tidak merasa puas terhadap cara orang atau organisasi yang mengumpulkan
informasi dan, menurut keadaankeadaan tertentu, individu-individu memiliki hak
atas ganti kerugian.
Pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip perlindungan data dapat menyebabkan tanggung jawab
pidana, adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Informasi yang dimuat dalam
data pribadi harus diperoleh, dan data pribadi itu harus diproses, secara jujur
dan sah.
2. Data pribadi harus dipegang
hanya untuk satu tujuan atau lebih yang spesifik dan sah.
3. Data pribadi yang dikuasai
untuk satu tujuan dan tujuan-tujuan tidak boleh digunakan atau disebarluaskan
dengan melalui suatu cara yang tidak sesuai dengan tujuan atau tujuan-tujuan
tersebut.
4. Data pribadi yang dikuasai
untuk keperluan suatu tujuan atau tujuan-tujuan harus layak, relevan dan tidak
terlalu luas dalam kaitannya dengan tujuan atau tujuan tersebut.
5. Data pribadi harus akurat
dan, jika diperlukan, selalu up-to date.
6. Data pribadi yang dikuasai
untuk keperluan suatu tujuan atau tujuan-tujuan tidak boleh dikuasai terlalu
lama dari waktu yang diperlukan untuk kepentingan tujuan atau tujuan-tujuan
tersebut.
7. Tindakan-tindakan
pengamanan yang memadai harus diambil untuk menghadapi akses secara tidak sah,
atau pengubahan, penyebarluasan atau pengrusakan data pribadi serta menghadapi
kerugian tidak terduga atau data pribadi.
8. Seorang individu akan
diberikan hak untuk:
a. Dalam jangka waktu yang wajar dan tanpa kelambatan serta
tanpa biaya: o Diberi penjelasan oleh pihak pengguna data tentang apakah
pihaknya menguasai data pribadi di mana individu yang bersangkutan menjadi
subyek data; dan o Untuk akses pada suatu data demikian yang dikuasai
oleh pihak pengguana data.
b. Jika dipandang perlu, melakukan perbaikan atau
penghapusan data.
Prinsip
yang terakhir berkaitan dengan pengamanan dan ancaman terhadap hal ini ada dua
jenis:
(1) pengamanan dari akses tidak sah, dan
(2) berkaitan dengan copy-copy back up. pusat-pusat data
yang berisi data pribadi.
Masih berkaitan dengan masalah jaminan privacy dalam
kaitannya dengan kunci privat, adalah harus adanya jaminan bahwa CA tidak
berusaha mencari pasangan kunci publik dari susbscriber. CA mempunyai peluang
yang besar untuk bisa menemukan kunci pasangan dari subscriber karena CA
mempunyai komputer yang lebih canggih untuk menemukannya.
Selain itu harus ada jaminan bahwa pencipta kartu yang
berisikan kunci privat juga tidak akan menyebarluaskan atau pun
menggandakannya. Hal ini sangat logis sekali karena pembuat kartu selain
mengetahui kunci publik juga mengetahui kunci privatnya karena ia adalah
penciptanya. Untuk menjamin hal ini perlu adanya suatu notary sysrem yang menjamin
hal tersebut.
2.
Accuracy
Termaksud
dalam pasal 4 butir 2,3, dan 8 UU No 8 tahun 1999. Dalam prinsip ini terkandung
pengertian "ketepatan" antara apa yang diminta dengan apa yang
didapatkan. Bahwa apa yang didapat oleh subs sesuai dengan apa yang ia minta
berdasarkan informasi yang diterimanya. Ketepatan informasi (informasi yang
benar tanpa tipuan) juga merupakan prinsip accuracy. Sebagai contoh: subs yang
meminta level tertentu dari sertifikat sebaiknya tidak diberikan level yang
lebih rendah atau lebih tinggi. CA juga berkewajiban memberitahukan segala
keterangan yang berkaitan dengan penawaran maupun permintaan yang diajukan.
Secara
tidak langsung subs berhak untuk mendapatkan CA yang berlisensi artinya ketika
subs mengakses ke CA, terdapat praduga bahwa CA adalah CA yang sah dan
berlisensi dan subs harus dilindungi dari penyimpangan CA yang gadungan.
3.
Property
Termaktub
dalam pasal 4 buutir 8 UU No 8 tahun 1999. Subs harus dilindungi hak miliknya
dari segala penyimpangan yang mungkin terjadi akibat masuknya subs ke dalam
sistem ini. Artinya subs berhak dilindungi dari segala bentuk penyadapan,
penggandaan, dan pencurian. Jika hal ini terjadi maka CA berkewajiban mengganti
kerugian yang diderita.
4.
Accessibility
Termaktub
dalam pasal 4 butir4, 5, 6,dan 7 UU No 8 tahun 1999. Bahwa setiap pribadi
berhak medapat perlakuan yang sama dalam hal untuk mengakses dan informasi.
Artinya tiap subs bisa masuk ke dalam sistem ini jika memenuhi persyaratan, dan
ia bisa mempergunakan sistem ini tanpa adanya hambatan. Dan subs juga berhak
untuk didengar pendapat dan keluhannya.
Kesimpulan
Hak-hak konsumen untuk tercapainya perlindungan konsumen
sudah tercantum atau dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, yaitu UU No 8 tahun
1999. Maka artinya hak-hak tersebut sudah diakui keberadaannya dan memiliki
kepastian hukumnya yang diatur dalam Undang-Undang positif. Upaya hukum yang
dilakukan oleh konsumen yang merasa dirugikan bisa menggunakan pasalpasal dalam
UU No 8 tahun 1999 ini.
Dalam kaitannya dengan penggunaan digital signature , CA
dalam kedudukan yang lebih kuat harus bisa menjamin hak-hak konsumen. Terutama
dalam perjanjian adhesi antara CA dan subscriber. Perjanjian diajukan sebaiknya
tidak hanya berat sebelah, sehingga subscriber tidak mempunyai posisi penawaran
(bargaining power). Untuk menutup resiko atas produk-produk yang cacat CA
dapat mengasuransikan resiko tersebut. Hal ini untuk mengurangi beban yang
harus ditanggung oleh CA apabila suatu saat ada konsimen (subscriber) yang menuntut
CA karena merasa dirugikan.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar